Sabtu, 17 Maret 2012

makalah tentang wali


BAB II PEMBAHASAN

A.  Wali
Wali adalah seseorang yang berhak mengawinkan calon istri dengan calon suami.wali merupakan salah satu rukun nikah.[1] Dalilnya firman Allah SWT surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”
Dan sabda Nabi SAW. :[2]

“Tidak sah nikah tanpa wali.”
1)   Syarat-syarat Wali
Adapun yang menjadi syarat-syarat orang yang akan menjadi wali adalah:
a.    Islam;
b.    Baligh(dewasa);
c.    Berakal;
d.   Merdeka;
e.    Laki-laki;
f.     Adil.
2)   Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali
Adapun orang yang berhak mejadi wali sebagai berikut:
a.    Bapak;
b.    Bapak dari bapak(kakek);
c.    Saudara laki-laki sekandung;
d.   Saudara laki-laki seayah;
e.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
f.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
g.    Saudara laki-laki bapak sekandung;
h.    Saudara laki-laki bapak yang sebapak;
i.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung;
j.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.[3]
k.    Penguasa.[4]

3)   Macam-macam Wali
Secara garis besar, wali itu dapat dibagi kepada 2(dua) macam:[5]
a.    Wali Nasab;
Wali Nasab adalah seorang yang berhak melakukan akad nikah dari seorang perempuan calon istri disebabkan adanya pertalian darah/keturunan antara wali dengan perempuan calon istri, yang dapat dibagi kepada dua bagian;
a)      Wali Aqrab(wali dekat)
Wali Aqrab adalah wali yang paling dekat hubungan darahnya(keturunannya) dengan perempuan calon istri yaitu kakek.
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua) bagian yaitu:
·         Wali Mujibir, maksudnya wali yang berhak mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu usianya. Adapun wali mujibir yaitu; Bapak dan Kakek.
·         Wali Ghairu Mujibir, maksudnya adalah wali yang tidak berhak mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu usianya. Adapun wali ghairu mujibir adalah; (a).Saudara laki-laki sekandung,(b).Saudara laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, (d).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, (e).Saudara laki-laki bapak sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang sebapak, (g).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
b)      Wali Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b.                  Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya[6].
Wali hakim berhak untuk menikahkan sebagai berikut:
a.       Adanya wali adhal, yaitu Bila Wali Aqrab yang enggan menikahkan anaknya dengan laki-laki pilihannya yang sejodoh.
b.      Bila wali aqrab sedang ihram
c.       Bila wali aqad ghaib, maksudnya dia jauh dari tempat tinggal, misalnya di dalam penjara dan apakah alamatnya tidak diketemui ataukah masih hidup atau sudah meninggal.
d.      Bila wali akrab itu menikahi sendiri  yang menikahi perempuan(calon istri) tersebut dan tidak ada wali yang setingkat urutannya dengan dia. Contoh bila yang akan menikah seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bapak keduanya bersaudara kandung, maka dalam hal ini yang berhak menikahkan pindah kepada hakim.
e.       Bila perempuan yang akan menikah tidak mempunyai wali, atau ada wali tetapi tidak memenuhi syarat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW. :

Dari Abu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda : Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang cerdas(adil)atau dengan sultan(hakim). Sulthan adalah wali dari orang yang tidak ada walinya”.

f.       Wali itu melakukan ta’azzur(main janji-janji dari waktu kewaktu) dan tawari(menghilangkan diri supaya perkawinan tidak bisa dilangsungkan)
B.  Saksi
 Dua orang saksi merupakan salah satu rukun(unsur) dalam pelaksanaan pernikahan.
Dalilnya sabda Rasulullah SAW.:

“Dari ibn Abbas ra. sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : pelacuradalah perempuan-perempuan  menikahkan dirinya tanpa ada saksi”.H.R Tarmidzi
Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda :

“Pernyataan dinyatakan tidak sah, kecuali jika ada walinya(orang yang menikahkan)dan dua orang saksi yang adil”.
1.      Syarat-syarat Saksi[7]
·         Islam;
·         Baligh;
·         Berakal;
·         Dapat mendengarkan dan mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad;
·          Memahami maksud dari ucapan dalam akad nikah(sighat akad nikah).
Apabila saksi yang dihadirkan adalah orang buta, hendaknya dia bisa mengenal dengan baik suara kedua orang yang melakukan akad dan benar-benar memastikan hal itu sehingga terhindar dari keraguan.[8]
Apabila orang yang menjadi saksi adalah anak-anak, orang gila, atau orang yang sedang mabuk, maka pernikahan yang dilakukan tidak sah, karena kesaksian mereka tidak bisa diterima.
2.      Kesaksian Wanita dalam Pernikahan
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus laki-laki. Apabila akad nikah disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, maka akadnya tidak sah. Sebagai dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid bahwa Zuhri berkata,”telah lewat dalam sunnah Rasulullah SAW bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam urusan tindak pidana, pernikahan, dan talak.”[9]
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang bisa menjadi saksi dalam akad nikah tidak hanya laki-laki. Kesaksian satu atau dua laki-laki dan perempuan adalah sudah cukup. Sebagaiman dasarnya adalah firman Allah SWT.
 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB  öNà6Ï9%y`Íh (  bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB  tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# 
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,” (Al-Baqarah: 282)
                      Karena pernikahan sama dengan akad jual beli, maka persaksian perempuan dinyatakan sah jika disertai dengan laki-laki.











BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wali
Syarat-syarat wali: Islam, Baligh(dewasa), Berakal, Merdeka, Laki-laki, dan Adil.
Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali: Bapak, Bapak dari bapak(kakek), Saudara laki-laki sekandung, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, Saudara laki-laki bapak sekandung, Saudara laki-laki bapak yang sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak, dan Penguasa.
Macam-macam Wali
a.       Wali Nasab(pertalian darah/keturunan antara wali dengan perempuan calon istri), yang dapat dibagi kepada dua bagian;
                             i.      Wali Aqrab(wali dekat)
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua) bagian yaitu:
·         Wali Mujibir, yaitu Bapak dan Kakek.
·         Wali Ghairu Mujibir, yaitu a).Saudara laki-laki sekandung, (b).Saudara laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, (d).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, (e).Saudara laki-laki bapak sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang sebapak, (g).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
                                ii.     Wali Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b.      Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya.
Saksi
Syarat-syarat Saksi adalah Islam, Baligh, Berakal, Dapat mendengarkan dan mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad,  Memahami maksud dari ucapan dalam akad nikah(sighat akad nikah).

B.     Saran
Semoga dengan selesainya penulisan makalah kami, bisa menjadi nilai tambah bagi pembaca, namun dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah kami ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya. Berhubung kurangnya sumber yang kami dapatkan dan masih terbatasnya ilmu yang kami miliki. Oleh sebab itu kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangundari teman-teman khususnya dari Dosen pembimbing kami.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2008. Ed.1.cet.3
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,Jakarta : Bumi Aksara. 1996
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang: IAIN”IB” Press,1999
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3. Jakarta: Cakrawala Publishing,2008.



[1] Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam(Padang: IAIN”IB” Press,1999), hal, 6.
[2]Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat(Jakarta: Kencana, 2008). Ed.1.cet.3.hal.59
[3] Isni Bustami,Op.Cit. hal. 7
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3(Jakarta: Cakrawala Publishing,2008). Hal. 378.
[5] Isni Bustami,Log.Cit. hal. 8
[6]Ibid.hal. 9
[7]Ibid,hal. 15-16
[8]Sayyid Sabiq, Op.Cit. hal. 273
[9] HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, kitab “Hudud.”bab”fi Syahadah an-nisai’fi al-Hudud,”[8763-8770]. Zaila’I dari riwayatIbnu Abi Syaibah di dalam Nashab ar-Riyah, jilid IV, hal:79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar