BAB
II PEMBAHASAN
A. Wali
Wali
adalah seseorang yang berhak mengawinkan calon istri dengan calon suami.wali
merupakan salah satu rukun nikah.[1]
Dalilnya firman Allah SWT surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”
Dan
sabda Nabi SAW. :[2]
“Tidak sah nikah tanpa wali.”
1)
Syarat-syarat
Wali
Adapun yang menjadi syarat-syarat orang yang akan
menjadi wali adalah:
a. Islam;
b. Baligh(dewasa);
c. Berakal;
d. Merdeka;
e. Laki-laki;
f. Adil.
2)
Orang-orang
yang Berhak Menjadi Wali
Adapun orang yang berhak mejadi
wali sebagai berikut:
a. Bapak;
b. Bapak
dari bapak(kakek);
c. Saudara
laki-laki sekandung;
d. Saudara
laki-laki seayah;
e. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
f. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
g. Saudara
laki-laki bapak sekandung;
h. Saudara
laki-laki bapak yang sebapak;
i. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung;
j. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.[3]
k. Penguasa.[4]
3)
Macam-macam
Wali
Secara garis besar, wali itu dapat
dibagi kepada 2(dua) macam:[5]
a.
Wali
Nasab;
Wali Nasab
adalah seorang yang berhak melakukan akad
nikah dari seorang perempuan calon istri disebabkan adanya pertalian
darah/keturunan antara wali dengan perempuan calon istri, yang dapat dibagi
kepada dua bagian;
a) Wali
Aqrab(wali dekat)
Wali Aqrab adalah wali yang paling dekat hubungan
darahnya(keturunannya) dengan perempuan calon istri yaitu kakek.
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua)
bagian yaitu:
·
Wali Mujibir, maksudnya wali yang berhak
mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu usianya. Adapun wali
mujibir yaitu; Bapak dan Kakek.
·
Wali Ghairu Mujibir, maksudnya adalah
wali yang tidak berhak mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu
usianya. Adapun wali ghairu mujibir adalah; (a).Saudara laki-laki sekandung,(b).Saudara
laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, (d).Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, (e).Saudara laki-laki bapak
sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang sebapak, (g).Anak laki-laki dari
saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak laki-laki dari saudara
laki-laki bapak yang sebapak.
b) Wali
Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad
adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b.
Wali
Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi
wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya[6].
Wali hakim berhak untuk menikahkan sebagai berikut:
a. Adanya
wali adhal, yaitu Bila Wali Aqrab yang enggan menikahkan anaknya dengan
laki-laki pilihannya yang sejodoh.
b. Bila
wali aqrab sedang ihram
c. Bila
wali aqad ghaib, maksudnya dia jauh dari tempat tinggal, misalnya di dalam
penjara dan apakah alamatnya tidak diketemui ataukah masih hidup atau sudah
meninggal.
d. Bila
wali akrab itu menikahi sendiri yang
menikahi perempuan(calon istri) tersebut dan tidak ada wali yang setingkat
urutannya dengan dia. Contoh bila yang akan menikah seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bapak keduanya bersaudara kandung, maka dalam hal ini
yang berhak menikahkan pindah kepada hakim.
e. Bila
perempuan yang akan menikah tidak mempunyai wali, atau ada wali tetapi tidak
memenuhi syarat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW. :
“Dari Abu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah
SAW. bersabda : Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang cerdas(adil)atau
dengan sultan(hakim). Sulthan adalah wali dari orang yang tidak ada walinya”.
f. Wali
itu melakukan ta’azzur(main
janji-janji dari waktu kewaktu) dan tawari(menghilangkan diri supaya
perkawinan tidak bisa dilangsungkan)
B. Saksi
Dua orang saksi merupakan salah satu rukun(unsur)
dalam pelaksanaan pernikahan.
Dalilnya sabda Rasulullah SAW.:
“Dari
ibn Abbas ra. sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : pelacuradalah
perempuan-perempuan menikahkan dirinya
tanpa ada saksi”.H.R
Tarmidzi
Dari Aisyah ra. bahwasanya
Rasulullah SAW. bersabda :
“Pernyataan
dinyatakan tidak sah, kecuali jika ada walinya(orang yang menikahkan)dan dua
orang saksi yang adil”.
1. Syarat-syarat
Saksi[7]
·
Islam;
·
Baligh;
·
Berakal;
·
Dapat mendengarkan dan mendengarkan
ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad;
·
Memahami maksud dari ucapan dalam akad
nikah(sighat akad nikah).
Apabila saksi
yang dihadirkan adalah orang buta, hendaknya dia bisa mengenal dengan baik
suara kedua orang yang melakukan akad dan benar-benar memastikan hal itu
sehingga terhindar dari keraguan.[8]
Apabila orang
yang menjadi saksi adalah anak-anak, orang gila, atau orang yang sedang mabuk,
maka pernikahan yang dilakukan tidak sah, karena kesaksian mereka tidak bisa
diterima.
2. Kesaksian
Wanita dalam Pernikahan
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa orang
yang menjadi saksi dalam pernikahan harus laki-laki. Apabila akad nikah
disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, maka akadnya tidak
sah. Sebagai dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid bahwa Zuhri
berkata,”telah lewat dalam sunnah Rasulullah SAW bahwa perempuan tidak boleh
menjadi saksi dalam urusan tindak pidana, pernikahan, dan talak.”[9]
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang bisa menjadi
saksi dalam akad nikah tidak hanya laki-laki. Kesaksian satu atau dua laki-laki
dan perempuan adalah sudah cukup. Sebagaiman dasarnya adalah firman Allah SWT.
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$#
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,”
(Al-Baqarah:
282)
Karena
pernikahan sama dengan akad jual beli, maka persaksian perempuan dinyatakan sah
jika disertai dengan laki-laki.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Wali
Syarat-syarat
wali: Islam, Baligh(dewasa), Berakal, Merdeka, Laki-laki, dan Adil.
Orang-orang
yang Berhak Menjadi Wali: Bapak, Bapak dari bapak(kakek), Saudara laki-laki
sekandung, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, Saudara laki-laki
bapak sekandung, Saudara laki-laki bapak yang sebapak, Anak laki-laki dari
saudara laki-laki bapak yang sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki
bapak yang sebapak, dan Penguasa.
Macam-macam Wali
a. Wali
Nasab(pertalian darah/keturunan
antara wali dengan perempuan calon istri), yang dapat dibagi kepada dua bagian;
i.
Wali Aqrab(wali dekat)
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua)
bagian yaitu:
·
Wali Mujibir, yaitu Bapak dan Kakek.
·
Wali Ghairu Mujibir, yaitu a).Saudara
laki-laki sekandung, (b).Saudara laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, (d).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak,
(e).Saudara laki-laki bapak sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang
sebapak, (g).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak
laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
ii. Wali
Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad
adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b. Wali
Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi
wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya.
Saksi
Syarat-syarat Saksi adalah Islam, Baligh, Berakal, Dapat
mendengarkan dan mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad, Memahami maksud dari ucapan dalam akad
nikah(sighat akad nikah).
B. Saran
Semoga dengan
selesainya penulisan makalah kami, bisa menjadi nilai tambah bagi pembaca,
namun dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah kami ini masih
banyak kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya. Berhubung kurangnya
sumber yang kami dapatkan dan masih terbatasnya ilmu yang kami miliki. Oleh
sebab itu kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangundari teman-teman
khususnya dari Dosen pembimbing kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat.
Jakarta: Kencana, 2008. Ed.1.cet.3
Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,Jakarta
: Bumi Aksara. 1996
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam.
Padang: IAIN”IB” Press,1999
Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 3. Jakarta:
Cakrawala Publishing,2008.
[1]
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam(Padang:
IAIN”IB” Press,1999), hal, 6.
[2]Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat(Jakarta: Kencana, 2008).
Ed.1.cet.3.hal.59
[3]
Isni Bustami,Op.Cit. hal. 7
[4]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3(Jakarta: Cakrawala
Publishing,2008). Hal. 378.
[5]
Isni Bustami,Log.Cit. hal. 8
[8]Sayyid Sabiq, Op.Cit. hal. 273
[9]
HR
Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, kitab “Hudud.”bab”fi Syahadah an-nisai’fi al-Hudud,”[8763-8770].
Zaila’I dari riwayatIbnu Abi Syaibah di dalam Nashab ar-Riyah, jilid IV, hal:79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar