Senin, 19 Maret 2012

biografi Buya H. Thaharuddin LS


H. Thoharuddin, LS    
Beliau besar bersama ayah beliau di Pitalah, karena ayah dan ibu beliau bercerai, sehingga menuntut beliau untuk ikut dengan ayah beliau ke Pitalah. Seperti anak lainnya di masa itu beliau memulai pendidikan formalnya di SR sekitar tahun 1949 dan melanjutkan ke MTI Jaho sampai duduk di kelas dua Tsanawiyah lalu beliau pindah ke MTI (PPTI)  malalo sekitar  tahun  1957/1958 dan duduk di kelas dua Tsanawiyah juga. Namun kaerena kecerdasan beliau, pada tahun itu juga beliau dinaikan oleh Buya Labai Sati ke kelas 3, tidak beberapa bulan di kelas tiga beliau juga di naikan lagi ke kelas 4. Pada tahun 1959 beliau naik ke kelas 6, dan pada saat itu terjadi pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga pada tahun 1960 beliau pergi belajar ke Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan bersama dengan sahabatnya angku Muis Pakiah Sati, 3 bulan setelah itu juga menyusul sahabat beliau yang lainnya, yaitu angklu Karis dan angku Labai Mudo.
Pada tahun 1961 beliau pergi ke Aceh bersama Angku Muis Pakiah Sati dan belajar di sana. Dan ketika Buya Labai Sati kembali ke Malalo pada awal tahun 1962 , sehingga pada hari rabu tanggal 1 Syawal kegiatan belajar-mengajar di MTI malalo kembali di laksanakan setelah sempat terhenti karena PRRI. Pada bulan Sa’ban-nya di MTI Malalo di adakan perayaan penerian ijazah, dan bertepan sebelum perayaan tersebut Buya Thoharuddin pulang dari aceh, sehingga beliau pun juga mendapat ijazah aliyah pada perayaan tersebut. Pada bulan ramadhannya beliau bersama sahabatnya angku Karim (tj. Barulak) dan angku Darus Salikin (Teluk Kuantan) pergi ke kayutaman untuk kursus Ilnmu Mantiq bersama Buya Dt. Tumanggung.
Setelah Ramadhan mereka kembali ke Malalo, dan mengajarpada 1963 sampai tahun 1965. Dalam karirnya beliau juga sempat mengikuti latihan tentara atau latihan meliter di Padang  Panjang sekitar tahun 1963/1964, pada saat itu beliau utusan dari PERTI, latihan tersebut beliau ikuti selama satu bulan penuh. Beliau juga pernah mengikuti Pelatihan Kader FORMI PI PERTI di Padang Panjang pada tahun 1965 selama 15 hari, ketika penutupan acara terseburt bertepatan dengan G30SPKI, setelah beliau selesai mengikuti pelatihan tersebut beliau kembali ke Malalo.
Beliau berkeluarga pada tahun 1964 dengan seorang gadis yang berasal dari Pitalah juga yang bernama Rosnomi atau banyak juga orang panggil dengan panggilan kak Irai, dari istri beliau ini, beliau dianugerahi 3 orang anak:
  1. Habibullah
  2. Habiburrahman
  3. Nur
Namun ibu Rosnomi ini meninggal ketika melahikan Nur anak beliau yang terakhir. Pada tahun 1969 beliau kembali menikah dengan ibu Ros, ibu Ros ini adalah orang dari Nagari Guguak di Padang Pariaman, dan belliau kembali di anugerahi satu pasang anak yang beliau beri nama:
  1. Muhammad Syukri
  2. Mailul Husni
Lalu beliau diminta untuk mengajar di Panti Pasaman Barat , dan beliau mengajar di sana selama 14 tahun. Dan beliau kembali menikah dengan midren adik dari istri beliau yang pertama (ganti lapiak) dan dianugerahi seorang putri yang beliau beri nama Mabrur. Putri beliau mabruru ini lahir ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1986.
Setelah meninggalnya ibu Nuraini (putrid kandung Buya Labai Sati) beliau di minta kembali ke Malalo untuk menjadi pempinan di MTI Malalo. Dan ketika ditangan beliaulah nama MTI malalo diubah menjadi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo (PPTI Malalo). Pada pertengahan tahun 1987 beliau mengajak angku Karim untuk tinggal di Malalo, angku karim pun mengikuti ajakan neliau tersebut, sehingga pada saat itu angku karim tinggal di Surau Tinggi.
Bersama angku Karim beliau pernah  mengikuti beberapa acara penting, seperti MUNAS Organisasi Tarikat di Jakarta, yang acara pembukaannya dilaksanakan di Taman Mini Indonesia dan dilanjutkan di Wisma Haji Pondok Gede selama 15 hari pada tahun 1987, pada waktu itu mereka berdua menjadi utusan Kota Madia Solok.
Dari segi ilmu tariqat, beliau berguru kepada Buya Labai Sati dan beliau juga pernah suluk dengan Buya Kanis Tuangku Tuah di simpang batu ampa daerah 50 Koto tepatnya di Pondok pesantren Tarbiyah Islamiyah di sana.
Ketika beliau menjadi Pimpinan di PPTI beliau tinggal di Surau Tinggi, pernah juga tinggal di rumah penduduk di Padang Laweh dan juga pernah tinggal di kantor di sebelah kantin (kafetaria) PPTI Malalo. Selama di tangan beliau sangat banyak perubahan di PPTI Malalo, ditangan beliaulah di beli tanah di belakang sekolah dan didirikan asraman sementara lalu ditunjuk angku karim sebagai ketua asramanya. Lalu dibeli tanah yang pinggirdanau sebanyak tiga tahap, sesudah itu barulah didirikan asrama dan mushallah permanen yang kita nikmati sekarang. 
Sebelumnya pada tahun 1957 hanya ada 4 lokal yaitu di kantor desa yang ada di tengah-tengan desa padang laweh, sehingga prosese belajar-mengajar harus dijadikan dua tahap, kelas 1,2 dan 3 harus belajar di sore hari karena ada saat itu kelas 3 ada dua local.dan kelas 4,5,6 dan 7 yang belajar pagi. Pada tahun 1960 baru pindah tempat yang kita pakai sekarang, murid pada saat itu mencapai 600 orang.
Beliau juga pernah menikah dengan seorang guru di PPTI yang bernama Marina Amini pada tahun, setelah ibu Marina Amini meninggal beliau kembali menikah dengan istri beliau yang terakhir yang bernama Hamidah pada tahun. Dan beliau meninggal pada sore kamis 19 Ramadhan 1432 H/ 19 agutus 2004 pada waktu magrib.

Sabtu, 17 Maret 2012

makalah tentang wali


BAB II PEMBAHASAN

A.  Wali
Wali adalah seseorang yang berhak mengawinkan calon istri dengan calon suami.wali merupakan salah satu rukun nikah.[1] Dalilnya firman Allah SWT surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”
Dan sabda Nabi SAW. :[2]

“Tidak sah nikah tanpa wali.”
1)   Syarat-syarat Wali
Adapun yang menjadi syarat-syarat orang yang akan menjadi wali adalah:
a.    Islam;
b.    Baligh(dewasa);
c.    Berakal;
d.   Merdeka;
e.    Laki-laki;
f.     Adil.
2)   Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali
Adapun orang yang berhak mejadi wali sebagai berikut:
a.    Bapak;
b.    Bapak dari bapak(kakek);
c.    Saudara laki-laki sekandung;
d.   Saudara laki-laki seayah;
e.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
f.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
g.    Saudara laki-laki bapak sekandung;
h.    Saudara laki-laki bapak yang sebapak;
i.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung;
j.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.[3]
k.    Penguasa.[4]

3)   Macam-macam Wali
Secara garis besar, wali itu dapat dibagi kepada 2(dua) macam:[5]
a.    Wali Nasab;
Wali Nasab adalah seorang yang berhak melakukan akad nikah dari seorang perempuan calon istri disebabkan adanya pertalian darah/keturunan antara wali dengan perempuan calon istri, yang dapat dibagi kepada dua bagian;
a)      Wali Aqrab(wali dekat)
Wali Aqrab adalah wali yang paling dekat hubungan darahnya(keturunannya) dengan perempuan calon istri yaitu kakek.
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua) bagian yaitu:
·         Wali Mujibir, maksudnya wali yang berhak mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu usianya. Adapun wali mujibir yaitu; Bapak dan Kakek.
·         Wali Ghairu Mujibir, maksudnya adalah wali yang tidak berhak mengawinkan anak gadisnya untuk kawin tanpa menunggu usianya. Adapun wali ghairu mujibir adalah; (a).Saudara laki-laki sekandung,(b).Saudara laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, (d).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, (e).Saudara laki-laki bapak sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang sebapak, (g).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
b)      Wali Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b.                  Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya[6].
Wali hakim berhak untuk menikahkan sebagai berikut:
a.       Adanya wali adhal, yaitu Bila Wali Aqrab yang enggan menikahkan anaknya dengan laki-laki pilihannya yang sejodoh.
b.      Bila wali aqrab sedang ihram
c.       Bila wali aqad ghaib, maksudnya dia jauh dari tempat tinggal, misalnya di dalam penjara dan apakah alamatnya tidak diketemui ataukah masih hidup atau sudah meninggal.
d.      Bila wali akrab itu menikahi sendiri  yang menikahi perempuan(calon istri) tersebut dan tidak ada wali yang setingkat urutannya dengan dia. Contoh bila yang akan menikah seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bapak keduanya bersaudara kandung, maka dalam hal ini yang berhak menikahkan pindah kepada hakim.
e.       Bila perempuan yang akan menikah tidak mempunyai wali, atau ada wali tetapi tidak memenuhi syarat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW. :

Dari Abu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda : Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang cerdas(adil)atau dengan sultan(hakim). Sulthan adalah wali dari orang yang tidak ada walinya”.

f.       Wali itu melakukan ta’azzur(main janji-janji dari waktu kewaktu) dan tawari(menghilangkan diri supaya perkawinan tidak bisa dilangsungkan)
B.  Saksi
 Dua orang saksi merupakan salah satu rukun(unsur) dalam pelaksanaan pernikahan.
Dalilnya sabda Rasulullah SAW.:

“Dari ibn Abbas ra. sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : pelacuradalah perempuan-perempuan  menikahkan dirinya tanpa ada saksi”.H.R Tarmidzi
Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda :

“Pernyataan dinyatakan tidak sah, kecuali jika ada walinya(orang yang menikahkan)dan dua orang saksi yang adil”.
1.      Syarat-syarat Saksi[7]
·         Islam;
·         Baligh;
·         Berakal;
·         Dapat mendengarkan dan mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad;
·          Memahami maksud dari ucapan dalam akad nikah(sighat akad nikah).
Apabila saksi yang dihadirkan adalah orang buta, hendaknya dia bisa mengenal dengan baik suara kedua orang yang melakukan akad dan benar-benar memastikan hal itu sehingga terhindar dari keraguan.[8]
Apabila orang yang menjadi saksi adalah anak-anak, orang gila, atau orang yang sedang mabuk, maka pernikahan yang dilakukan tidak sah, karena kesaksian mereka tidak bisa diterima.
2.      Kesaksian Wanita dalam Pernikahan
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus laki-laki. Apabila akad nikah disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, maka akadnya tidak sah. Sebagai dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid bahwa Zuhri berkata,”telah lewat dalam sunnah Rasulullah SAW bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam urusan tindak pidana, pernikahan, dan talak.”[9]
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang bisa menjadi saksi dalam akad nikah tidak hanya laki-laki. Kesaksian satu atau dua laki-laki dan perempuan adalah sudah cukup. Sebagaiman dasarnya adalah firman Allah SWT.
 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB  öNà6Ï9%y`Íh (  bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB  tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# 
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,” (Al-Baqarah: 282)
                      Karena pernikahan sama dengan akad jual beli, maka persaksian perempuan dinyatakan sah jika disertai dengan laki-laki.











BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wali
Syarat-syarat wali: Islam, Baligh(dewasa), Berakal, Merdeka, Laki-laki, dan Adil.
Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali: Bapak, Bapak dari bapak(kakek), Saudara laki-laki sekandung, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, Saudara laki-laki bapak sekandung, Saudara laki-laki bapak yang sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak, dan Penguasa.
Macam-macam Wali
a.       Wali Nasab(pertalian darah/keturunan antara wali dengan perempuan calon istri), yang dapat dibagi kepada dua bagian;
                             i.      Wali Aqrab(wali dekat)
Adapun wali aqrab dapat pula dibagi kepada 2(dua) bagian yaitu:
·         Wali Mujibir, yaitu Bapak dan Kakek.
·         Wali Ghairu Mujibir, yaitu a).Saudara laki-laki sekandung, (b).Saudara laki-laki seayah, (c).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, (d).Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, (e).Saudara laki-laki bapak sekandung, (f).Saudara laki-laki bapak yang sebapak, (g).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, (h).Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.
                                ii.     Wali Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon istri.
b.      Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannyadan profesinya.
Saksi
Syarat-syarat Saksi adalah Islam, Baligh, Berakal, Dapat mendengarkan dan mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang melakukan akad,  Memahami maksud dari ucapan dalam akad nikah(sighat akad nikah).

B.     Saran
Semoga dengan selesainya penulisan makalah kami, bisa menjadi nilai tambah bagi pembaca, namun dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah kami ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya. Berhubung kurangnya sumber yang kami dapatkan dan masih terbatasnya ilmu yang kami miliki. Oleh sebab itu kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangundari teman-teman khususnya dari Dosen pembimbing kami.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2008. Ed.1.cet.3
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,Jakarta : Bumi Aksara. 1996
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang: IAIN”IB” Press,1999
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3. Jakarta: Cakrawala Publishing,2008.



[1] Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam(Padang: IAIN”IB” Press,1999), hal, 6.
[2]Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat(Jakarta: Kencana, 2008). Ed.1.cet.3.hal.59
[3] Isni Bustami,Op.Cit. hal. 7
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3(Jakarta: Cakrawala Publishing,2008). Hal. 378.
[5] Isni Bustami,Log.Cit. hal. 8
[6]Ibid.hal. 9
[7]Ibid,hal. 15-16
[8]Sayyid Sabiq, Op.Cit. hal. 273
[9] HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, kitab “Hudud.”bab”fi Syahadah an-nisai’fi al-Hudud,”[8763-8770]. Zaila’I dari riwayatIbnu Abi Syaibah di dalam Nashab ar-Riyah, jilid IV, hal:79.